Pada bulan kemerdekaan, narasimengenai perjuangan tidak cuma lahir dari medan juang.
Perjuangan datang dalam bentuk lain, yaitu menulis untuk mencerdaskan angkatan bangsa.
Tersebutyang sudah dilakukan Lia Herliana, seorangibu rumah-tangga Asal Kabupaten Grobogan yang tetapkonsistenberkreasiwalau kesehariannya direpotkan oleh kegiatan rutinmengurusi keluarga.
recommended by
Prostanore
Prostat Menyusut 3 Kali Lipat! Pria Harus Konsumsi Ini!
Ketahui Lebih
Baca : MengenaliFigur Cintia Irawati Prastiti, Mahasiswi Unisnu Berprestasi, Peraup Tiga Emas Renang Pomprov 2025
Di tempat tinggalnya yang sederhana di Perum Griya Praja Cantik, Kota Purwodadi. Lia Herliana jalaniperanandouble.
Pagi hari diadirepotkankegiatan rutinmempersiapkankeperluan keluarga. Tetapidemikianwaktu luangdatang, diaselekasnyaraihnetbookdanmenghidupkan “dunia ke-2 “-nya yaitu dunia literatur.
Dari pojok rumah tersebut, lahir beberapa cerita yang selanjutnya mengantarkannya ke pentas sayembara berprestise.
WanitaalumnusPengetahuan Komunikasi Kampus Diponegoro Semarang ini yakinjikatiap tulisan dapat menjadi jendela baruuntukbeberapa anak Indonesia.
Kepercayaan itu bisa dibuktikan, karena tahun ini dia kembali bisa lolos dalam Sayembara Penulisan Bahan Bacaan Literatur Nasional (GLN) yang diadakanTubuh Bahasa Kemendikbud. Prestasi itu bukan yang pertama, tetapi yang ke-3 kalinya secara beruntun.
“Motivasi saya sederhana, inginberperan serta melahirkan bahan bacaan berkualitasuntukbeberapa anak Indonesia. Sebagaiibu rumah-tangga dari kota kecil, menulis menjadilangkah saya turutberperan,” papar Lia.
Baca : Lebih Dekat sama Ciello Darren Adhitya, Figur Pemuda Asal Blora sebagai Putera Kebudayaan Cilik Indonesia 2025
Kreasi yang loloskannya tahun ini ialahnarasibermotifbertopikpenangkalan kekerasan pada anak, dengan subtema pengabaian emosi padaanak pertama. Ide itu tibapengalaman dari pribadinya sebagaianak sulung yang dibesarkan di Kalimantan Selatan.
Dalam narasi yang ditulisnya, Lia mendatangkan stigma yang kerapdirasakananak pertama. Dipandangtelah besar, dituntut untukberdikari, pemahaman, dan mengalah.
Setingnarasijuga diperkaya nuansa lokal berbentukbis air di Sungai Barito, model transportasi tradisionil yang sekarang mulai jarang-jarangdikenaliangkatan muda.
Menulis untuk Lia bukan hanyakasustuangkangagasan. Proses inovatifnyaselaludimulaibanyak membaca danpenelitian.
“Untuknarasiini kali, saya membahas artikel mengenai psikologi anak pertamadankonsultasi dengan psikiatersupaya tulisannya lebih tepat dalam memfotoperistiwapsikologis,” paparnya.
Untuknya, rintanganpaling besarnyaialah waktu lomba yang cepat, apalagi kerapbersama dengan lomba menulis lain. Tetapi, diamasih tetapberusahaoptimaldanberdasarpadakonsepuntuk menulis dengan hati.
Untuk ibu tiga anak ini, bisa lolos sayembara GLN bukan sekedarperolehanindividu. Kreasi yang diputuskannantiakandiciptakandandisebar gratis ke beberapa sekolahdan perpustakaan di semua Indonesia.
“Itu yang membuat saya selaluinginturutkembali. Buku ini akanmencapaibeberapa anaksampaipenjuru. Sepertiturutmenebarkansinar,” ucapnya dengan mata berbinar.
Diamengharapkreasinyabisamerengkuh hati beberapaanak pertama, sekalianmengingatiorangtuamengenaikeutamaanpenuhikeperluan emosi tiap anak.
Di tengah-tengah euforia Agustus, Lia mengartikankesuksesannyasebagai hadiah kemerdekaan. Diamerasasukasekalian terharu dapatdipercayailagi.
Untuknya, sayembara GLN ialahgelaranpalingberprestiseuntuk penulis dan ilustrator buku anak di Indonesia, sekalian “lebarannya” beberapa penulis yang tiap tahun mempertemukan mereka dari beragampelosok Nusantara.
Perjuangan Lia menjadi bukti jika kemerdekaan dapatdiartikanlangkahsederhana. Terusberkreasi, memberikanfaedah, danmenghidupkan api pengetahuan untukangkatan bangsa.
“Mudah-mudahanpemerintahanterusmemberikan dukungan penulis lokal dengan melangsungkan sayembara dantraining. Danuntuk penulis muda, jangan takut coba. Menulislah dengan hati, karena dari situlahkreasidapatsentuhbeberapa orang,” pesannya. (*)